Penggalan lagu diatas adalah gambaran keindahan
Indonesia dahulu. Dimana hampir semua kekayaan alam tersedia, bahkan tidak
susah untuk memperbarui sumber daya yang sudah terpakai.
Dari kekayaan alam dan kesuburan tanah tersebut pertanian Indonesia dikenal oleh negara lain sehingga dijuluki sebagai negara agraris.
Dari kekayaan alam dan kesuburan tanah tersebut pertanian Indonesia dikenal oleh negara lain sehingga dijuluki sebagai negara agraris.
Kejayaan Indonesia sebagai negara agraris memuncak
pada era tahun 1960-1970 dengan julukan macan asia melalui swasembada beras
secara mandiri (Sutawi, 2013). Kejayaan tersebut dibuktikan dengan terpenuhinya
stok pangan dalam negeri, banyaknya jumlah petani dan melimpahnya SDA sebagai
input produksi. Mengerti akan realita itu, pemerintah menargetkan Indonesia
swasembada beras pada tahun 2017. Target ini tentu tidak salah. Hanya, perlu
melihat realita pertanian kita antara dahulu dan saat ini.
Semiotika
Agraris
Secara istilah, agraris adalah segala hal mengenai
pertanian, cara hidup bertani dan bersifat pertanian (KBBI). Negara agraris
adalah negara yang sebagian besar penduduknya bekerja dibidang pertanian
(Hanani dkk., 2008). Negara yang memfasilitasi rakyatnya untuk bertani dan
menggantungkan perekonomian negara dari bidang pertanian (Sutrisno, 1999). Maka
secara umum negara Agraris diartikan sebagai negara yang sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pertanian sumber utama
pendapatan negara.
Berdasar semiotika tersebut, ada kejanggalan untuk
menempatkan Indonesia sebagai negara Agraris untuk saat ini. Bagaimana tidak
dalam sepuluh tahun terakhir jumlah rumah tangga petani Indonesia mengalami
penurunan dari 31,7 juta jiwa pada 2003 menjadi 26,13 juta jiwa pada tahun 2013
(Kompas, 17/10/2014). Penurunan juga terjadi di usia penduduk yang bekerja di
sektor pertanian. Pada tahun 2004 ada 40,61
1
juta
orang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian. Namun pada
2013 menyusut menjadi 39,96 juta orang atau 35,05% (BPS, 2013). Memang sudah
ada solusi yang diterapkan pemerintah agar petani tidak beralih profesi, salah
satunya adalah asuransi gagal panen pada petani padi (Jawa Pos, 9/10/2015).
Tentunya hanya berlaku pada petani padi saja, petani bidang lain belum
tersentuh.
Disisi lain, minat generasi muda terhadap
pertanian juga menurun bahkan bisa dikatakan hanya sedikit generasi muda yang
tertarik dan ingin mengembangkan pertanian. Di Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM) misalnya, dari 8.782 mahasiswa yang mendaftar di kampus tersebut pada
tahun 2014 hanya 782 mahasiswa yang memilih Fakultas Pertanian-Peternakan
(Bestari UMM, Oktober 2014). Sisanya memilih jurusan dari fakultas yang
dianggap lebih profit dan peluang kerjanya bagus. Bahkan beberapa universitas
menutup jurusan pertanian karena sepi peminat (JPNN.com, 12/03/2012) Padahal
tahun 1970an pertanian merupakan jurusan favorit dan paling diminati calon
mahasiswa (Sutawi, 2013). Data setiap tahun, ada 34.000 sarjana pertanian
tetapi petani muda (30 tahun kebawah) kurang dari 10%, dan mayoritas sarjana
pertanian tidak bekerja di sektor pertanian karena intensif yang didapat kecil
(Viva.co.id, 21/6/2014).
Sedangkan faktor penyebab penurunan jumlah petani
adalah tidak sebandingnya biaya produksi dengan total pendapatan petani ketika
panen (Ismanto dkk., 2012). Penghasilan petani hanya Rp. 5.175 per hari atau
Rp. 7, 2 juta rupiah sekali panen pada tanaman padi dan buruh tani kasar Rp.
40. 302 perhari (Viva.co.id, 26/4/2010) . Akibatnya tingkat kemiskinan
Indonesia masih tinggi yaitu 28,59 pada Maret 2015 yang mayoritas (54,6%)
berada di pedesan. Padahal sebagian besar penduduk desa bekerja sebagai petani
(Kompas, 23/10/2015).
Dari faktor produksi, luas lahan yang tidak
optimal cukup besar. Tahun 2012 luas sawah produktif 8.132.345,91 hektar, lahan
tegal dengan luas 11.949.727,00 hektar, lahan ladang 5.260.081,00 hektar, dan
lahan sementara yang tidak diusahakan seluas 14.252.383,00 hektar (Kemtan,
2013). Berdasarkan data tersebut, maka luas lahan pertanian yang tidak
diusahakan lebih luas dibandingkan dengan lahan yang produktif. Artinya minat
masyarakat Indonesia terhadap sektor pertanian semakin menurun.
Pemuda sebagai
h arapan bangsa diharapkan
dapat mengata si masalah
ini.
Karena
pemuda memiliki beragam potensi yang siap berkembang sekaligus berani
menampilkan ide-ide kreatif yang mampu membuka peluang usaha. Banyak pemuda yang
sudah berani membuka usaha untuk membantu masyarakat, termasuk petani. Anang
Setiawan contohnya, pemuda asal Banyuwangi ini membuka u saha ternak lele booster
dikampungnya dengan modal dan pengelola masyarakat sekit ar yang sebagian
buruh tani. Pemuda ini berhasil membangun 90 unit tambak ikan lele d engan
pengelola mayoritas petani dan pem uda di kampungnya, padahal sebelumnya mereka
banyak mengganggur (Kompas, 23/10/2015). Sehingga ada opini bahwa semakin
banyak pemuda, semakin banyak pula inovasi yang tercipta.
Hal tersebut dapat terjadi karena Indonesia
mengalami bonus d emografi. Yaitu kondisi dimana penduduk usia produktif lebih
banyak daripada non-produktif. Kondisi ini diprediksi akan memuncak pada dekade
2020 sampai dengan 2030. Hal ini disebabkan karena struktur kependudukan
Indonesia didominasi oleh kelompok usia 15 sampai dengan 64 tahun yang mencapai
66,5% (indonesia-investme nts.com, 2015). Kondisi ini diharapkan ber manfaat
untuk sektor pertanian dan terjadi re generasi petani.
Salah satu langkah yang bisa ditempuh oleh
pemerintah untu k memanfaatkan bonus demografi adalah dengan memanfaatkan
potensi pemuda kh ususnya sarjana pertanian. Langkah konk ret untuk mewujudkan
gagasan tersebut adalalah dengan program PeNS (Petani Neg eri Sipil).
Pemerintah dalam hal ini adalah Kementrian
Pertanian (K emtan) sebagai pelaksana kebijakan PeN S. Dimana anggaran untuk
PeNS disediak an khusus oleh Kemtan melalui dinas per tanian dibawahnya.
Anggaran ini disesuai kan berdasarkan
3
potensi
tiap daerah. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memetakan potensi pangan
unggulan masing-masing daerah. Sebagai contoh, Provinsi Jawa Timur sebagai
sentra hortikultura, Provinsi Jawa Barat dan Sulawesi Selatan sebagai sentra
padi, sehingga anggaran disesuaikan dengan produktifitas dan lokalitas daerah
tersebut. Peran lain pemerintah adalah mensosialisasikan PeNS kepada seluruh
masyarakat Indonesia, agar program ini diketahui dan dapat diawasi oleh seluruh
masyarakat.
PeNS pada petani dimaksudkan untuk meningkatkan
produktifitas pertanian. Bukan hanya petani lama, tetapi calon petani dari
kalangan pemuda juga diutamakan. Nantinya petani diminta untuk menghasilkan
produk pertanian sesuai dengan potensi daerahnya. Instrumen ini akan lebih
mudah diterapkan karena pemerintah sudah menjalankan program OVOP (One
Village One Product) dan program Dana Desa (UU RI No. 6 Tahun 2014) dari
Kementrian Desa PDTT yang salah satunya mengatur tentang BUM Desa dengan basis
produk lokal. Bantuan gaji dalam PeNS adalah pupuk, pestisida, bibit dan teknik
bertani yang optimal diberikan langsung berdasarkan data kepegawaian PeNS.
Sebagai asuransi, pemerintah menyediakan uang ganti rugi apabila gagal panen
dan membeli hasil pertanian secara langsung melalui BUMDes. Selanjutnya, PeNS
kepada sarjana/ilmuwan pertanian dengan tujuan memanfaatkan potensi generasi
muda pertanian yang memiliki ide/ inovasi dalam pengembangan pertanian.
0 komentar:
Post a Comment