Info seputar pangan nasional dan dunia

Sekolah Lapang Dengan Pendekatan Farmer First





Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alam, kondisi tanah  dan iklim yang sangat cocok dengan pertanian. Pertanian tidak akan berjalan tanpa ada yang mengerjakan
atau menjalankan, yaitu petani. Mereka adalah orang-orang yang dapat dikatakan sebagai ayah negara. Mengapa demikian? Karena tanpa mereka, masyarakat Indonesia tidak akan memperoleh bahan pangan. Selama ini banyak yang tidak menyadari hal tersebut. Sebagian besar masyarakat menganggap rendah pekerjaan yang padahal sangat dibutuhkan oleh negara kita, bahkan di semua negara. Diiringi dengan banyaknya permasalahan yang timbul sehingga Indonesia tidak pernah unggul di kancah internasional mengenai ketahanan pangan,  contohnya hasil pertanian yang kurang maksimal, peraturan pasar yang tidak menguntungkan petani,  kondisi para petani yang jauh dari kata sejahtera dan adanya penurunan kualitas petani.
. Semakin berkembangnya zaman nampaknya sangat berdampak pada pola pikir generasi muda. Mereka berpikir bahwa profesi sebagai petani adalah profesi yang tidak menjanjikan. Bahkan banyak yang beranggapan profesi petani adalah profesi yang tidak ‘kekinian’. Karena secara umum, profesi petani seringkali dilukiskan dengan seseorang yang berpakaian hitam maupun lusuh dilengkapi dengan topi camping di kepalanya.  Tidak seperti petani yang berada di belahan bumi bagian barat, dengan celana jeans, baju biasanya kotak-kotak dan dilengkapi dengan topi laken dan traktor yang siap memanen.
            Menurut Badan Pusat Statistika mencatat jumlah persentase tenaga kerja pada sektor pertanian di Indonesia pada Februari 2010 sebesar 44.161.280 orang, dan mengalami penurunan berturut-turut pada Agustus 2010 sebesar 43.243.111, pada Februari 2011 sebesar 42.456.452 orang, pada Agustus 2011 sebesar 39.088.271 ora. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tidak lagi berkeinginan menjadi petani. Namun, menurut data yang diunggah oleh Badan Pusat Statistika yang terbaru pada Februari 2014, menunjukkan bahwa tenaga kerja sektor pertanian mengalami kenaikan yaitu sebesar 40.833.052 orang dan kembali mengalami penurunan pada Agustus 2014 yaitu 38.973.033 orang.
            Menurut Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Entang Sastraatmadja mengemukakan “Setiap orang mengharapkan profesi pekerjaan yang ringan dan lebih layak dari pada harus bekerja berat dan kotor seperti petani. Aspek ketenagakerjaan petani yang menurun harus diimbangi dengan kualitas petani yang lebih baik, dalam menjaga produktifitas pertanian. Dia menilai, dengan meningkatkan teknologi dan dukungan dari setiap lembaga pertanian harus segera pemerintah siapkan.”
            Lalu, Sistem edukasi yang seperti apa untuk meningkatkan kualitas dan regenerasi petani di Indonesia? Nampaknya, peran serta pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan fasilitas mengenai penerapan sistem edukasi bagi para petani, salah satunya dengan Pemberdayaan Petani Melalui Sekolah Lapang Berbasis Teknologi dalam Upaya Peningkatan Kualitas dan Regenerasi Petani.
            Pendekatan pemberdayaan mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan. Dengan demikian maka petani harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapi. Upaya-upaya pemberdayaan petani diharapkan mampu berperan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) terutama dalam membentuk dan ubah-mengubah perilaku masyarakat untuk mencapai taraf hidup yang lebih berkualitas. Tujuan pemberdayaan petani adalah memberikan motivasi dan dorongan kepada petani agar mampu menggali potensi dirinya dan berani bertindak memperbaiki kualitas hidupnya.
Kegiatan pemberdayaan petani diharapkan mampu mengembangkan teknik-teknik pendidikan tertentu yang imajinatif untuk menggugah kesadaran mereka. Menurut Sikhondze (1999), orientasi pemberdayaan petani haruslah membantu petani agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-inovasi yang ada, ditetapkan secara partisipatoris, yang pendekatan metodenya berorientasi pada kebutuhan masyarakat sasaran dan hal-hal yang bersifat praktis, baik dalam bentuk layanan individu maupun kelompok.
Peran serta petani harus lebih dimaknai sebagai hak daripada kewajiban. Kontrol petani terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan atas program-program pembangunan yang ditujuan kepadanya adalah hak petani sebagai pemegang kata akhir dan mengontrol apa saja yang masuk dalam agenda dan urutan prioritas. Upaya pemberdayaan dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi dan produktifitas melalui pengembangan sumberdaya manusia dan penguasaan teknologi. Untuk melakukan pemberdayaan petani secara umum dapat diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan sebagai berikut :
1.         Belajar dari petani yang lain.
 Prinsip yang paling mendasar adalah prinsip bahwa untuk melakukan pemberdayaan adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti, dibangun kepercayaan akan nilai dan relevansi pengetahuan tradisional petani serta kemampuan untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri.
2.         Pendamping sebagai fasilitator, petani sebagai pelaku.
Perlunya pendamping menyadari perannya sebagai fasilitator dan bukannya sebagai pelaku atau guru. Untuk itu perlu sikap rendah hati serta ketersediaan untuk belajar dari petani dan menempatkan petani sebagai narasumber utama dalam memahami keadaan. Bahkan dalam penerapannya, petani dibiarkan mendominasi kegiatan.
3.        Saling belajar dan berbagi pengalaman.
Salah satu prinsip dasar pendampingan untuk pemberdayaan petani adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional petani. Hal ini bukanlah berarti bahwa petani selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Kenyataan objektif telah membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-perubahan yang terjadi dan tidak lagi dapat memecahkan masalah-masalah yang berkembang. Namun sebaliknya, telah terbukti pula bahwa pengetahuan modern dan inovasi dari luar yang diperkenalkan oleh orang luar tidak juga memecahkan masalah mereka. Bahkan dalam banyak hal, malah menciptakan masalah yang lebih besar lagi. Karenanya pengetahuan petani dan pengetahuan dari luar atau inovasi, harus dipilih secara arif dan atau saling melengkapi satu sama lainnya. 
Untuk menunjang pemberdayaan masyrakat, maka dibentuklah sekolah lapang. Dengan adanya sekolah lapang ini diharapkan para petani dapat merealisasikan secara langsung pengetahuan apa saja yang didaptkan.  Dilts (1992) menyatakan bahwa sekolah lapang yang diterapkan tidak hanya melalui ceramah dan demonstrasi. Ciri yang dikembangkan dalam proses berlatih-melatih dalam Sekolah Lapang adalah sebagai berikut:
1. Sarana belajar ciptaan sendiri (Selfgenerated Materials), di mana sarana belajar utama sawah dan ekologi lahan pertanian setempat yang bersifat dinamis. Sawah menjadi acuan, bahan pengajaran, dan tempat belajar.
2. Cara belajar lewat pengalaman (Experiential Learning Cycle, ELC). Metode ELC dilaksanakan melalui tahapan: (1) mendapat/menggali pengalaman (experiencing), (2) mempertukarkan, mendiskusikan, menilai dan menganalisis pengalaman (processing), (3) mengembangkan prinsip dan mengambil kesimpulan (generalizing), dan (4) menerapkannya (applying).
3. Peran pemandu, bukan “mengajar” tetapi mengajak peserta untuk melibatkan diri secara aktif dalam proses belajar dan proses interaksi yang dialogis.
4. Analisis dan pengambilan keputusan. Kegiatan yang paling nampak dan paling pokok dalam sekolah lapang adalah kegiatan analisis agroekosistem, untuk menajamkan “mata” terhadap dinamika ekologi lokal untuk meningkatkan daya analisis petani dan pengambilan keputusan yang benar.
5. Latihan semusim, di mana latihan dilakukan dengan mengikuti tahap perkembangan tanaman agar setiap prinsip dapat diteliti secara langsung dan nyata.
6. Dinamika kelompok dan pengembangan wahana petani, di mana mereka dibekali teknik dan metoda untuk meningkatkan kekuatan organisasi petani melalui latihan kerjasama, pemecahan masalah dan kepemimpinan.
7. Perencanaan dari bawah, di mana pemilihan lokasi untuk belajar menggunakan kriteria agroekosistem yang sesuai dengan kebutuhan setempat dan pengalaman petani.
8. Kurikulum yang rinci dan terpadu (integrated), di mana kurikulum yang disusun telah diuji dan konsisten terhadap prinsip-prinsip dan adanya kekompakan antara materi yang satu dengan yang lain secara utuh.
            Chambers (1993) menyebutkan bahwa perlunya memprioritaskan petani sebagai pendekatan farmer first. Adapun ciri-ciri pendekatan farmer first tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tujuan utamanya adalah memberdayakan petani.
2. Petani difasilitasi oleh pihak luar dalam menganalisis kebutuhan dan prioritas.
3. Alih teknologi dari pihak luar ke petani melalui prinsip-prinsip, metode-metode dan seperangkat pilihan-pilihan.
 4. Petani diberikan kesempatan untuk memilih materi yang dibutuhkannya.
5. Karakteristik perilaku petani dicirikan oleh pengaplikasian prinsip-prinsip, memilih dari seperangkat pilihan-pilihan dan mencoba serta menggunakan metodemetode.
6. Hasil utama yang ingin dicapai oleh pihak luar adalah petani mampu meningkatkan kemampuan adaptasinya serta memberikan pilihan-pilihan yang lebih luas bagi petani.
7. Karakteristik model penyuluhan yang utamanya yaitu dari petani ke petani.
8. Agen penyuluhan berperan sebagai fasilitator dan pencari serta memberikan pilihan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Soedijanto (2003) menyatakan bahwa mutu sumber daya manusia (SDM) petani akan dapat mendukung pembangunan pertanian kini dan masa mendatang manakala penyuluhan pertanian merupakan proses pemberdayaan, bukan proses transfer teknologi. Dimana petani akan belajar melalui 6 dimensi belajar (learning) yaitu:
1. Learning to know (penguasaan konsep, komunikasi informasi, pemahaman lingkungan, rasa senang memahami, mengerti dan menemukan sesuatu).
2. Learning to do (penekanan pada skill tingkat rendah ke tingkat tinggi menuju ke arah kompetensi). 3. Learning to live together (mengenal diri sendiri, mengenal diri orang lain, menemukan tujuan bersama, bekerjasama dengan orang lain).
4. Learning to be (memecahkan masalah sendiri, mengambil keputusan dan memikul tanggung jawab, belajar untuk disiplin).
5. Learning society (mengembangkan diri secara utuh, terus menerus).
6. Learning organization (belajar memimpin, belajar berorganisasi, belajar mengajarkan kepada orang lain).
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kabar Pangan. Powered by Blogger.

Blog Archive