Berdasarkan hasil
penelitian Food Agriculture Organization (FAO), jumlah penduduk dunia
yang menderita kelaparan pada tahun 2010 mencapai 925 juta orang. Situasi ini
diperparah dengan
semakin berkurangnya investasi di sektor pertanian yang sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir. Sementara sektor pertanian menyumbang 70% dari lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung.
semakin berkurangnya investasi di sektor pertanian yang sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir. Sementara sektor pertanian menyumbang 70% dari lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung.
Indonesia sebagai
salah satu negara agraris adalah negara yang memiliki komitmen yang cukup
tinggi untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan global dan juga telah
menandatangani Letter of Intent (LOI) dengan FAO pada bulan Maret 2009
sebagai bentuk dukungan terhadap berbagai program peningkatan ketahanan pangan
global dan pembangunan pertanian di negara-negara berkembang lainnya, terutama
dalam kerangka Kerjasama Selatan-Selatan (South-south Cooperation),
kerjasama teknis negara-negara berkembang (KTNB/ TCDC) dan pencapaian tujuan
dari MDGs. Penandatanganan LOI ini juga diharapkan ke depannya akan semakin
memperkuat peran Indonesia dalam membantu peningkatan pembangunan pertanian di
negara-negara berkembang, terutama di negara-negara Asia Pasifik dan Afrika
yang telah berjalan sejak tahun 1980.
Pangan merupakan
permasalahan bangsa yang mendesak untuk ditindaklanjuti dan memerlukan
langkah-langkah penanganan dengan pendekatan yang sistematik, terpadu dan
menyeluruh. Upaya-upaya tersebut, harus ditujukan untuk mengurangi beban
masyarakat dan memenuhi hak-hak dasar setiap warga negara secara layak,
sehingga dapat menjalani dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Mengingat pentingnya pangan untuk keberlanjutan berbangsa dan bernegara, maka
seluruh pemangku kepentingan harus mampu menyatukan langkah dan pemikiran serta
menempatkan upaya produktivitas pertanian sebagai prioritas utama.
Selama ini,
pemerintah telah berupaya menyempurnakan kebijakan produktivitas pertanian,
baik dari sisi paradigma, anggaran maupun instrumen program dalam meningkatkan
produktivitas pertanian. Dibukanya partisipasi pada semua pihak dalam upaya
peningkatan produktivitas pertanian dan menjadikan isu sebagai tanggung jawab
seluruh pemangku kepentingan, merupakan langkah awal yang ditujukan untuk
mendorong seluruh elemen masyarakat, agar turut berperan dan bertanggung jawab
dalam upaya meningkatkan dan mengoptimalkan produktivitas pertanian. Semangat
inilah yang mendasari berbagai prakarsa yang dilakukan pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, masyarakat, dunia usaha dan
pemangku kepentingan lainnya. Perlu diketahui bahwa peningkatan produktivitas
pertanian harus memperhatikan dua aspek yang saling berkaitan yaitu permintaan
dan penawaran. Namun demikian, berbagai kebijakan dan program yang telah
digulirkan masih belum sepenuhnya berjalan dan terselenggara secara selaras,
terpadu, efisien dan efektif.
Permasalahan
peningkatan produktivitas pertanian harus memperhatikan dua aspek yang saling
berkaitan yaitu permintaan dan penawaran. Aspek permintaan berkaitan dengan
kuantitas dan kualitas penduduk sedangkan aspek penawaran berkaitan dengan
jumlah produk pertanian yang dihasilkan.
Pada aspek permintaan, data jumlah penduduk dan laju
pertumbuhan penduduk masih tinggi, kondisi ini membutuhkan pangan yang besar
dimana sebagian harus dipasok dari hasil produksi pertanian. Namun jumlah
penduduk yang besar dengan laju pertumbuhan yang tinggi belum diimbangi dengan
kualitas penduduk yang tinggi. Perkembangan Human Development Index
(HDI) Indonesia untuk tahun 1980 sampai dengan 2011 masih belum menggembirakan.
Karena dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka semakin besarlah jumlah pangan
yang dibutuhkan.
Pada aspek
penawaran, sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan terus
mengalami penurunan, kondisi ini menunjukkan bahwa sektor tersebut
pertumbuhannya semakin melambat. Bahkan, jika dibandingkan dengan laju
pertumbuhan sektor lainnya, maka laju pertumbuhan sektor pertanian, peternakan,
kehutanan dan perikanan tergolong paling lambat. Apabila produktivitas
pertanian ingin ditingkatkan lebih lanjut, maka faktor pertama yang harus
diperhatikan adalah ketersediaan dan kualitas infrastruktur, pembangunan
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dimana semakin tinggi nilai
elastisitas, maka semakin penting pengaruh faktor tersebut terhadap pertumbuhan
ekonomi. Secara nasional infrastruktur irigasi mempunyai angka elastisitas di
atas 1 yang berarti sangat penting pengaruhnya terhadap laju pertumbuhan
ekonomi. Khususnya pengaruh terhadap perkembangan produktivitas pertanian.
Selama dua dasawarsa
terakhir ini, laju pertumbuhan produktivitas pangan di Indonesia sangat lamban.
Pada kurun waktu 14 tahun terakhir (1996-2010), produktivitas beras tumbuh di
bawah 1 persen per tahun. Pertumbuhan produktivitas kedelai stagnan, jika tidak
dikatakan negatif. Pada dekade 1990-an, produktivitas
kedelai mencapai 1,7 ton per hektar, tetapi kini
produktivitas kedelai hanya 1,4 ton per hektar. Pertumbuhan produktivitas tebu
sangat tidak terpola, kadang tinggi sampai 6,2 ton per hektar, tetapi kadang
anjlok sampai di bawah 5,8 ton per hektar. Hanya jagung yang menunjukkan
peningkatan produktivitas konsisten hampir dua kali lipat. Fenomena
produktivitas tersebut sekaligus menunjukkan inkonsistensi pola dan sistem
produksi pangan strategis di Indonesia.
Kapasitas
produktivitas pertanian di Indonesia, selain memang rendah sejak awal, juga
mengalami kelelahan sistematis karena pola budidaya, lingkungan tumbuh dan
inefisiensi skala produksi usaha tani. Petani sebagai pelaku utama memiliki
keterbatasan dalam mengelola dan memodifikasi lingkungan biofisik dan sosial
ekonomi sistem produksi pertanian. Petani sulit sekali untuk mampu mempengaruhi
lingkungan kebijakan, apalagi untuk mengubah landasan ekonomi makro, yang
menentukan tingkat kesejahteraannya. Pada level kapasitas yang sama, pengaturan
teknik budidaya, penanggulangan hama dan penyakit serta pengelolaan air irigasi
hanya mampu meningkatkan produksi pertanian sekedarnya. Berbeda halnya jika
kapasitas produksinya ditingkatkan, apalagi jika dikombinasikan dengan langkah
intensifikasi, produksi pertanian akan melompat berlipat-lipat. Kisah lonjakan
produktivitas jagung di atas tidak dapat dilepaskan dari penggunaan dan adopsi
benih jagung hibrida. Singkatnya, inovasi dan perubahan teknologi, termasuk
pengembangan dan pemanfaatan bioteknologi pertanian, akan mampu meningkatkan
kapasitas produksi dan produktivitas pertanian dalam menyiapkan ketahanan
pangan.
Dalam upaya
meningkatkan produktivitas pertanian, Indonesia masih menghadapi berbagai
permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi permasalahan
paradigma, produksi, distribusi, konsumsi, koordinasi dan keuangan. Pertama,
dari aspek paradigma mencakup: sistem agribisnis harus digeser menjadi berbasis
kepada petani dan pengusaha, sedangkan peran pemerintah hanya sebagai
fasilitator, pendekatan masih bersifat sektoral dan peran pemerintah daerah
masih kurang. Kedua, dari aspek produksi mencakup: skala usaha petani
masih kecil, alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian masih tinggi,
rusaknya infrastruktur pertanian di berbagai daerah, melemahnya sistem
penyuluhan pertanian, suplai air semakin berkurang, laju pertumbuhan penduduk
relatif tinggi, ketergantungan masyarakat terhadap beras masih tinggi, produksi
beras cenderung berfluktuasi, adopsi
inovasi teknologi relatif rendah, kepemilikan lahan
sangat kecil (rata-rata 0,25 ha per petani), kelembagaan petani masih lemah,
pascapanen tergantung alam, keadaan cuaca dan keadaan geografi setempat. Ketiga,
dari aspek distribusi mencakup: fluktuasi harga/inflasi relatif tinggi,
pengelolaan distribusi yang belum merata di seluruh wilayah, permintaan dari
luar daerah sangat tinggi, cadangan pangan beras belum terdata dengan baik dan
biaya koleksi dan distribusi yang relatif tinggi. Keempat, dari aspek
konsumsi mencakup: keamanan pangan, kerawanan pangan dan gizi, diversifikasi
pangan serta daya beli masyarakat yang belum memadai. Kelima, dari aspek
koordinasi mencakup: masing-masing instansi hanya fokus pada tugas pokok
fungsinya masing-masing, lemahnya koordinasi antar-instansi dan lemahnya leadership
yang dapat mengkoordinasi berbagai instansi. Keenam, dari aspek keuangan
yaitu terbatasnya akses petani terhadap sumber permodalan serta belum adanya
perlindungan keuangan terhadap petani.
Berdasarkan hasil
studi literature dan meta analisis terhadap hasil-hasil kajian terkait
dengan kebijakan, strategi dan upaya-upaya peningkatan produktivitas pertanian
yang diselenggarakan melalui Focus Group Discussion dan Round Table
Discussion di Lemhannas RI, masih banyak permasalahan yang harus diatasi,
sehingga diperlukan kesadaran bersama baik pemerintah dan seluruh pemangku
kepentingan untuk saling bersinergi yang berkesinambungan dengan pendekatan holistic
integral dalam meningkatkan produktivitas pertanian guna meningkatkan
ketahanan pangan dalam rangka ketahanan nasional. Hal
ini disebabkan implementasi kebijakan dan program kegiatan, belum berjalan
secara optimal sebagai satu kesatuan kebijakan yang utuh, serasi dan selaras,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian atas keseluruhan kebijakan
serta program kegiatan. Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan maupun
implementasi program kegiatan belum sepenuhnya terselenggara secara efisien dan
efektif antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun dengan para
pemangku kepentingan lainnya.
Upaya meningkatkan dan mengoptimalkan produktivitas
pertanian khususnya ketersediaan beras, masih menghadapi berbagai permasalahan.
Setiap kali musim tanam padi berbagai hambatan produksi masih terus dialami
petani, seperti tersendatnya distribusi pupuk, buruknya jalan usaha tani,
terbengkalainya saluran irigasi, ancaman serangan hama dan penyakit tanaman.
Dari seluruh
permasalahan yang dihadapi petani dapat dikelompokan menjadi (1) Pengaruh
lingkungan strategis bersifat global dan (2) Pengaruh internal. Pengaruh global
seperti liberalisasi, climate changedan global price. Namun yang sangat
besar dan dampaknya secara langsung adalah climate change. Climate
change atau perubahan iklim global menyebabkan terjadinya anomali iklim.
Perubahan iklim ini menyebabkan meningkatnya suhu udara, musim hujan lebih
panjang atau pendek dan musim kemarau yang lebih panjang atau pendek. Hal
tersebut dapat mengakibatkan banjir, kemarau panjang dan gagal panen.
Meningkatnya suhu udara sering berdampak negatif pada pertumbuhan, seperti
melemahnya daya tahan tanaman, meningkatnya serangan hama dan penyakit tanaman.
Selama ini para
akademisi maupun para birokrat melihat soal pemenuhan pangan hanya melalui
pendekatan produksi. Jika ada kekurangan pangan, usahanya adalah peningkatan
produksi. Jika dilihat jauh ke depan, pada tahun 2035, menurut proyeksi para
ahli kependudukan, sekalipun program Keluarga Berencana (KB) sukses, penduduk
kita akan mencapai sekitar 350 juta jiwa. Dengan tingkat konsumsi per kapita
seperti sekarang ini, 139 kg per kapita per tahun, pada tahun 2035 dibutuhkan
sekitar 50 juta ton beras. Untuk menghasilkan 50 juta ton beras, dibutuhkan
sawah dengan produktivitas rata-rata 5 ton GKG (Gabah Kering Giling) per ha
seluas sekitar 11 juta ha. Data menunjukkan, sekarang Indonesia hanya mempunyai
sekitar 6,5 juta hektar sawah, sehingga sangat sulit membayangkan bagaimana
mendapatkan areal baru untuk mencapai 11 juta ha tadi. Jadi, masalahnya
pertambahan permintaan lebih besar daripada kemampuan berproduksi. Jadi
pertambahan permintaan itu tidak bisa diatasi semata-mata dengan meningkatkan
produksi karena: Pertama, penambahan areal sawah (ekstensifikasi) sangat
sulit dilakukan. Kedua, selain terbatasnya lahan, suplai air juga
semakin berkurang. Ketiga, sistem pertanian kita semakin gurem, sehingga
perlu ada reorganisasi pertanian supaya petani bisa bekerja pada skala usaha
yang ekonomis untuk sebuah keluarga. Keempat, sulit meningkatkan
produktivitas rata-rata karena produktivitas kita saat ini, sekitar 4,9 ton GKG
(Gabah Kering Giling) per ha, sudah cukup tinggi dibandingkan negara-negara
produsen beras dunia. Kelima, hambatan dari luar pertanian dengan adanya
ancaman global warming. Bila tidak diantisipasi dari sekarang, akibat global
warming pada masa yang akan datang bisa lebih parah, seperti kebanjiran,
kekeringan, ledakan serangan hama dan penyakit.
Pemenuhan kebutuhan pangan bagi setiap warga negara
merupakan hak sekaligus kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Jika
tidak terpenuhi, akan berpengaruh terhadap ketahanan nasional dan berdampak terhadap
keutuhan NKRI. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilanjutkan
langkah-langkah penanganan peningkatan produktivitas pertanian guna mewujudkan
ketahanan pangan dalam rangka ketahanan nasional dengan pendekatan yang
sistematik, terpadu dan menyeluruh.
Berdasarkan
permasalahan tersebut di atas, hal mendasar yang perlu dilaksanakan adalah
sebagai berikut: Meningkatkan produktivitas pertanian membutuhkan paradigma
baru melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Pembangunan sistem dan usaha
agribisnis adalah pembangunan yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan
dan dilaksanakan secara terdisentralisir. Berdaya saing dimaksudkan untuk
memenuhi tuntutan globalisasi, sehingga kita mampu bersaing dengan produk impor
dan bersaing di pasar internasional. Berkerakyatan untuk memenuhi tuntutan
kesejahteraan petani dan pengentasan kemiskinan. Berkelanjutan dalam mewujudkan
daya saing dan berkerakyatan melalui penyesuaian diri dengan perubahan iklim
global. Jika kita tidak menyesuaikan diri dengan perubahan iklim dan
memperhatikan kelestarian lingkungan, maka tidak akan bisa melakukan
pembangunan yang berkelanjutan.
Pengaruh lingkungan
strategis baik eksternal maupun internal yang dihadapi petani padi di Indonesia
umumnya dan petani daerah sentra produksi beras khususnya dapat diatasi dengan
strategi pemecahan masalah melalui sikap waspadai krisis pangan global dengan
menggalakkan peningkatan produk-produk lokal yang biasa dikonsumsi masyarakat
lokal, swasembada beras berkelanjutan melalui peningkatan produktivitas
pertanian yang dilaksanakan secara terpadu mulai dari sektor hilir, hulu dan
jasa penunjangnya. Jadi pendekatan sektoral harus dirubah menjadi pendekatan
intersektoral. Itulah paragdigma baru yang dibutuhkan. Sistem agribisnis di era
otonomi daerah diselenggarakan dengan cara meningkatkan keunggulan komparatif
pada masing-masing daerah secara bertahap ditransformasikan menjadi keunggulan
bersaing melalui pengembangan organisasi ekonomi rakyat seperti koperasi, usaha
kecil dan menengah serta pengembangan jaringan bisnisnya.
Koordinasi antar-Instansi dan pengembangan
organisasi petani dalam iklim demokrasi di era reformasi, agar petani memiliki
organisasi yang kuat untuk memperjuangkan
kepentingan politik ekonominya. Organisasi petani harus memiliki pengaruh
politik, tapi bukan partai politik. Perkuatan organisasi petani bukan pada on-farm
tetapi harus ke off-farm, sehingga nilai tambah yang besar pada
off-farm dapat jatuh ke tangan petani melalui koperasinya. Dengan
demikian, diharapkan dengan adanya hal-hal tersebut Indonesia sebagai salah
satu negara agraris di dunia mampu meningkatkan dan mengoptimalkan
produktivitas pertanian secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam rangka
mencapai ketahanan nasional semesta di masa yang akan datang.
0 komentar:
Post a Comment