Indonesia merupakan
negara agraris. Namun, ternyata pernyataan tersebut mulai menjadi kalimat
kontradiktif yang sarat akan pertanyaan skeptis di dalamnya. Karena, pada
kenyataannya
Indonesia tidak menjadikan agraris sebagai sektor kemakmuran diri, malah Negara Kesatuan Republik Indonesia terkesan menjadikan impor sebagai senjata ketahanan pangan dan perisai dari kemajuan kemakmuran. Jika kita berbicara perihal agraris dan pertanian di Indonesia, tentulah kita juga tak akan lepas dalam membicarakan tentang petani dan segala aspek yang berhubungan dengan regenerasi petani, apalagi di saat Indonesia mendapat anugrah berupa bonus demografi, hal ini akan menjadi sangat berhubungan erat. Dari dulu, kondisi ekonomi para petani yang memiliki citra tidak baik di kalangan masyarakat menjadi wacana masalah yang tak kunjung selesai dan tiada memiliki titik ujung. Akankah bonus demografi yang dialami Indonesia akan tetap melahirkan orang-orang yang tidak ingin menjadi petani, ataukah bonus demografi mampu menjadi momentum untuk memperbaiki citra dan kondisi nyata dari para petani, merupakan tugas kita sebagai segenap warna Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memproklamasikan dirinya sebagai negara agraris.
Indonesia tidak menjadikan agraris sebagai sektor kemakmuran diri, malah Negara Kesatuan Republik Indonesia terkesan menjadikan impor sebagai senjata ketahanan pangan dan perisai dari kemajuan kemakmuran. Jika kita berbicara perihal agraris dan pertanian di Indonesia, tentulah kita juga tak akan lepas dalam membicarakan tentang petani dan segala aspek yang berhubungan dengan regenerasi petani, apalagi di saat Indonesia mendapat anugrah berupa bonus demografi, hal ini akan menjadi sangat berhubungan erat. Dari dulu, kondisi ekonomi para petani yang memiliki citra tidak baik di kalangan masyarakat menjadi wacana masalah yang tak kunjung selesai dan tiada memiliki titik ujung. Akankah bonus demografi yang dialami Indonesia akan tetap melahirkan orang-orang yang tidak ingin menjadi petani, ataukah bonus demografi mampu menjadi momentum untuk memperbaiki citra dan kondisi nyata dari para petani, merupakan tugas kita sebagai segenap warna Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memproklamasikan dirinya sebagai negara agraris.
Belum lama ini, kita
disuguhi banyak fakta tentang kondisi petani di Indonesia. Pertama yang akan
kita bahas yaitu pada tanggal 1-31 Mei 2013, BPS (Badan Pusat Statistik) tingkat
nasional, melakukan Sensus Pertanian (ST 2013), dengan hasil bahwa 28,60 juta
penduduk Indonesia yang berada di dalam lingkar kemiskinan, dan ternyata 63,25%
di antaranya adalah berprofesi sebagai petani. Hal ini memunculkan sebuah ironi
baru, yakni ‘Pekerja Produksi Pangan Tidak Mampu Membeli Pangan’, ditambah lagi
bahwa kondisi tersebut terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
dikenal sebagai negara agraris sejak zaman nenek moyang bangsa kita.
Bukan hanya itu,
terdapat pula beberapa fakta lain tentang kondisi petani di Indonesia,
bahwasanya daerah pedesaan di Indonesia mengalami fenomena Garis Kemiskinan
Makanan sebesar 77%. Adapun yang dimaksud dengan Garis Kemiskinan Makanan
adalah nilai pengeluaran kebutuhan
minimum makanan yang disetaran dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket
komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditas antara lain:
padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan,
buah-buahan, minyak, lemak.
Fakta yang ketiga, pada
tahun 2013 NTP (Nilai Tukar Petani) mengalami penurunan sebesar 0,45% . Nilai
Tukar Petani adalah daya beli petani terhadap barang-barang kebutuhannya,
dibandingkan dengan nilai-nilai produksi pertanian dari hasil usahanya.
Barang-barang kebutuhan dalam hal ini bukan hanya merupakan kebutuhan pangan,
melainkan juga kebutuhan sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan
sekunder serta kebutuhan tersier yang lainnya. Dengan menurunnya kemampuan
petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, akan memberi dampak yang lebih signifikan
terhadap kemakmuran dari petani itu sendiri, makmur tidaknya kehidupan
seseorang sangat dipengaruhi oleh kamampuannya dalam memenuhi kebutuhan hidup,
dan apabila kemampuan memenuhi kebutuhan hidup petani menurun, akan menjadi
penyebab menurunnya kemakmuran dari petani.
Sekretaris Jendral PBB
(Persatuan Bangsa-bangsa), Ban Ki-Moon, dalam sambutannya di Hari Kebahagiaan
Sedunia, mengatakan bahwa terdapat adanya kesinambungan antara pertumbuhan
ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan alam. Dalam hal penuntasan
kemiskinan pertanian, tidak hanya dengan meningkatkan PDB (Produk Domestik
Bruto), tetapi juga harus meningkatkan kemudahan akses dan meningkatkan
kemampuan memperoleh makanan.
Berdasarkan
fakta-fakta tersebut, kita mengetahui bahwa kondisi petani di Negara Kesatuan
Republik Indonesia sangatlah memprihatinkan. Namun, kita tidak perlu berkecil
hati, Indonesia merupakan negara yang besar, Indonesia harus mampu keluar dari
kondisi yang sudah lama menjadi masalah di negeri ini. Apalagi saat Indonesia
mendapat anugrah bonus demografi, ini akan menjadi penghalang sekaligus
tantangan untuk dapat keluar dari keadaan yang telah lama kita rasakan.
Pertama,
yang harus kita lakukan adalah dengan memperbaiki hal-hal yang sifatnya
fundamental terkait pelaksanaan dari suatu kebijakan, hal tersebut adalah
regulasi. Semua usaha kita hanya akan menjadi kerja dan wacana yang sia-sia
jika kita dapat dihempas dengan mudah oleh permainan politik dan birokrasi terkait
pertanian yang tidak jelas. Oleh karena itu, kita harus mampu untuk menjadi
rakyat yang memiliki daya pikir kritis, kita sudah harus mampu untuk ikut andil
besar dalam pembuatan regulasi atau minimal kita sudah harus mampu menjadi
pemantau regulasi. Misalnya, para petani harus sudah digiring untuk mengetahui
informasi mengenai harga-harga pasar yang ditetapkan oleh pemerintah di
masing-masing daerah mereka, sehingga para petani tidak dapat dengan mudah terkena
tipu oleh pihak-pihak yang ibgin memanfaatkan ketidaktahuannya, selanjutnya
lewat organisasi petani tingkat nasional yang sudah ada, misalnya API (Aliansi
Petani Indonesia), atau SPI (Serikat Petani Indonesia), harus mulai mengkritisi
dan mengambil tindakan solutif tentang kebijakan impor di Indonesia. Sebagai
tindak lanjutnya, hal-hal tersebut bukanlah sebuah wacana semata, harus ada
tindakan nyata yang menyertainya. Contoh tindakan nyatanya adalah
informasi-informasi tersebut harus bisa diolah dan dapat dibagikan kepada para
petani, agar mereka tahu kebijakan apa yang dimiliki oleh pemerintah kita,
meskipun ada informasi-informasi yang sifatnya rahasia dan tidak boleh
dipubikasikan, minimal para petani harus sudah mengetahui kebijakan-kebijakan umum
tapi sangat berkaitan erat terkait dengan masa depan bidang yang mereka geluti.
Dengan begitu, apa yang harus para petani lakukan akan lebih mudah
diformulasikan.
Kedua, semua masalah tersebut dapat kita selesaikan
apabila kita mampu merperbaiki pola pikir dari masyarakat melalui edukasi.
Edukasi dalam hal ini bukan hanya perihal yang menyangkut pendidikan di sekolah
saja, yang lebih kompleks adalah pendidikan di luar sekolah yang melibatkan
banyak pihak dari berbagai latar belakang dan juga berasal dari berbagai
kondisi kehidupan yang berbeda-beda, serta juga melibatkan materi serta
pembelajaran yang memiliki nilai implementasi lebih tinggi katena sifat
pengetahun yang diberikan adalh ilmu yang harus siap digunakan. Dalam hal ini,
penulis menyarankan sebuah solusi berupa pencanangan KKN (Kuliah Kerja Nyata)
wajib yang dilakukan oleh semua mahasiswa di bidang pertanian, peternakan,
perikanan, dan kelautan, berupa penyuluhan pada biang terkait selama satu
minggu secara penuh, setelah itu, diikuti dengan tutorial pertanian,
peternakan, perikanan, dan kelautan, selama satu minggu penuh juga, setelah
itu, barulah antara warga dengan mahasiswa bekerja bersama untuk
mengimplementasikan ilmu secara nyata. Sebagai pamungkasnya, para petani perlu
diberi CD yang berisi video tutorial, atau kalendar pertanian, atau poster
tutorial, yang mudah dipahami, dan kesemuanya berisi tentang teknik-teknik
pertanian yang benar agar ilmu yang mereka pelajari saat itu, dapat dipelajari
di kemudian hari dan dapat dityularkan ke keturunan mereka yang akan berprofesi
sebagai petani. Dengan cara ini, kita mengharap agar ilmu yang diberikan bukan
hanya sebatas omongan berlatar belakang pengetahuan saja, namun juga ilmu yang
sudah diruncingkan ke dalam bentuk yang sederhana agar bisa segera dilakukan.
Kegiatan-kegiatan tersebut dapat diformulasikan dalam bentuk diagram alir
0 komentar:
Post a Comment