Info seputar pangan nasional dan dunia

Pendidikan Pertanian Indonesia


Hari kebahagiaan dunia ditetapkan pada tanggal 20 Maret oleh PBB. Penetapan hari kebahagiaan tersebut didasari atas kesadaran bahwa seluruh umat di dunia bercita- cita untuk hidup
bahagia, harmonis, terbebas dari rasa takut dan kemiskinan. “Terbebas dari kemiskinan”, rasanya penggalan kalimat yang sangat layak untuk mendapat perhatian khusus terutama untuk negara Indonesia. Seberapa bebaskah negara tercinta ini dari kata yang sangat tidak diinginkan oleh siapapun di dunia ini.
Bicara kemiskinan di Indonesia hampir sama dengan bicara kemiskinan petani karena dari 28,60 juta penduduk miskin pada bulan September 2012, sebanyak 63,25 persen merupakan penduduk perdesaan yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada pekerjaan sebagai petani atau buruh tani. Tingkat kesejahteraan petani yang rendah menyebabkan sebagian besar keluarga petani memimpikan profesi yang lebih baik untuk anak- anak mereka. Para petani menganggap pekerjaan sebagai petani akan tetap membuat mereka berada pada keadaan miskin. Hal ini menyebabkan jumlah rumah tangga usaha pertanian di Indonesia terus menurun.
Regenerasi petani sudah perlu mendapat perhatian sebab jumlah petani terus turun dalam 10 tahun terakhir. Data statistik menunjukkan dalam kurun 2003- 2013 terjadi penurunan jumlah rumah tangga petani sekitar 5,10 juta  (16 persen). Rumah tangga petani di Indonesia pada 2003 berjumlah 31,23 juta dan menurun menjadi 26,14 juta pada 2013. Masalah regenerasi petani semakin jelas jika dilihat dari penurunan jumlah tenaga kerja muda di pertanian. Jumlah petani usia muda (15-24 tahun) mengalami penurunan lebih besar dibandingkan dengan jumlah petani usia tua. Jumlah petani usia muda pada 2004 sebesar 5,95 juta menurun menjadi 5,02 juta pada tahun 2012 (BPS, 2013).
Angkatan kerja muda tidak lagi berminat bekerja sebagai petani dan memilih bekerja di sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan secara ekonomi. Suatu keputusan logis karena pertanian memang tidak memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi pekerja. Untuk menumbuhkan minat dan kemauan serta mengubah paradigma berpikir tentang pertanian dapat dimulai dengan membangun citra pertanian. Paradigma berpikir tentang pertanian selama ini sedikit banyak telah menurunkan citra pertanian terutama bagi pemuda. Paradigma berpikir harus kita ubah, bahwa pertanian bukan sekadar mencangkul di sawah dan menjadi petani tidak selalu identik dengan kemiskinan. Pertanian bukanlah sektor tradisional yang kurang bergengsi dan tidak memberikan nilai tambah, tetapi merupakan sektor strategis yang mampu memberikan nilai tambah yang berlipat jika dikelola secara profesional seperti sektor-sektor lainnya. Bahkan kemajuan sektor-sektor lain sangat tergantung pada kemajuan sektor pertanian. Kita harus dapat menghadirkan suatu contoh kegiatan pertanian yang berhasil dan menguntungkan secara ekonomi.
Cara lain untuk mengubah paradigma para generasi muda tentang profesi dalam pertanian adalah melalui jalur pendidikan. Pendidikan pertanian di Indonesia disadari atau tidak, hanya sebuah penggalan kecil dari pendidikan geografi ketika anak-anak Indonesia mengenyam pendidikan dasar, itupun disinggung hanya sedikit. Kurangnya pemahaman akan betapa besarnya sumber daya alam negeri kita, serta minimnya pengetahuan tentang bagaimana mengolahnya dengan cara modern akan menyurutkan minat masyarakat khususnya generasi muda untuk belajar pertanian.
Penyadaran generasi muda akan pentingnya sektor pertanian sepertinya sangat terlambat jika harus menunggu mereka untuk memilih kuliah di bidang disiplin ilmu pertanian. Sebalinya, pendidikan dan pemahaman akan pentingnya sektor pertanian  itu perlu diterapkan sejak usia dini, sejak sekolah dasar. Pendidikan pertanian sejak dini akan mempermudah inovasi teknologi dibidang pertanian serta pemahaman dasar tentang konsep pertanian itu sendiri.
Orang-orang yang bekerja pada sektor pertanian on farm kebanyakan hanya orang-orang terlatih, petani-petani yang terlatih pengalamannya karena memang sudah lama menggeluti bidang pertanian, bukan petani yang mengetahui prinsip dasar keilmuan dan teknologi pertanian. Hal ini menyebabkan inovasi pertanian menjadi terhenti, padahal, inovasi pertanian akan terjadi dengan sangat cepat jika pencipta inovasi berasal dari petani itu sendiri, merekalah yang ‘dipaksa’ menciptakan inovasi pertanian demi kepentingan ekonomis. Alangkah sempurnanya ketika mereka memiliki keterampilan lapangan yang dilengkapi dengan pemahaman teoretis.
Pendidikan formal pertanian sebenarnya sudah digagas sejak masa kolonial.  J.E. Teijsmann pada tahun 1876 merintis dibukanya  Landbouw School (Sekolah Pertanian) untuk pemuda Eropa yang akan mengolah lahan perkebunan dan pertanian di Hindia Belanda, serta untuk kaum pribumi yang kelak akan dijadikan budak tanam paksa. Pada 1 Januari 1910, melalui Inspeksi Pendidikan Pertanian pada departemen pertanian Hindia Belanda, didirikanlah Cultuur School (Sekolah Pertanian Menengah) untuk menciptakan tenaga teknis  perkebunan, pertanian rakyat, pengairan, perikanan, dan kehutanan yang pelajarnya bukan hanya pemuda Eropa tapi juga kaum pribumi karena dorongan politik etis. Tak lama berselang didirikan pula Sekolah Pertanian Menengah Atas (Middelbare Landbouw School – MLS) dan sekolah tata usaha tani (Bedrijf Landbouw School) untuk melengkapi pengetahuan pertanian generasi muda orang-orang Eropa dan orang pribumi Hindia Belanda.
Jika kita memang memiliki sejarah telah merintis kurikulum pendidikan pertanian formal, sepertinya tidak akan terlalu sulit untuk memulainya lagi. Kurikulum pertanian harus disusun dengan cermat dan merupakan bagian yang terintegrasi kedalam kurikulum formal. Pendidikan pertanian bukan lagi hanya ulasan sesaat semata tapi benar-benar dilaksanakan dengan kebanggaan yang besar akan pertanian Negara kita sendiri. Alangkah indahnya ketika anak usia sekolah dasar sudah mengetahui kondisi pertanian Indonesia dan bertekad untuk mengembangkannya. Alangkah hebatnya ketika cita-cita anak-anak kecil bangsa ini bukan hanya didominasi oleh ‘ingin menjadi pilot’ dan’ ingin menjadi dokter’ tapi ‘ingin menjadi petani’.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Kabar Pangan. Powered by Blogger.

Blog Archive